Penebangan Pohon Diyakini Penyebab Banjir dan Longsor di Parapat

By Redaksi - Friday, 14 May 2021
Foto
Foto

Simalungun, Kabarnas.com - Kerusakan wilayah hulu yang mengancam lokasi wisata Danau Toba. Hujan deras yang turun, Kamis (13/5/2021) sore hingga menjelang malam menyebabkan Sungai Batu Gagak di Kelurahan Parapat meluap dan meggenangi Jalan Sisingamangaraja yang merupakan ruas jalan inti kota turis Parapat.

Luapan air mengakibatkan volume air menerjang ruas jalan dan wilayah Kota Parapat diduga karena kerusakan keseimbangan alam. Praktik penebangan hutan ilegal dan tanaman baru HTI oleh TPL di duga menjadi biangnya.

Menurut Jurnal Manajemen Hutan Tropika yang diterbitkan 2004 yang lalu telah terjadi degradasi hutan (hutan primer ke HBT). Sebagian besar (95%) dari hutan primer yang ada pada tahun 1999 (2.046 Ha) telah berubah, diantaranya seluas 1.449 Ha mengalami degradasi sedangkan sisanya mengalami deforestasi.

Rekomendasi pada pengelolaan hutan ini merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjalankan pengelolaan hutan ini dan diharapkan mampu melengkapi terlaksananya pengelolaan hutan. Dimana pada hulu terdapat HTI dari kayu ekaliptus (Eucalyptus sp) dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan karena itu dibutuhkan areal untuk pembangunan HTI.

Ketua Forum Das Asahan Toba, DR Robert Siregar MSi mengatakan bahwa pihaknya telah memprediksi potensi bencana yang akan melanda wilayah Hutan Sibaganding sebagai Hulu Kota Parapat, saat melihat banyak kawasan yang telah dialihfungsikan, terutama di hulu Sungai Batu Gagak. Analisa potensi bencana telah banyak diterbitkan pada hasil research untuk wilayah ini menajdi referensi sebenarnya pada pengambil keputusan di wilayah ini. Belum lagi saat ini HTI yang di hulu oleh TPL baru penanaman dan juga terjadinya illegal logging.

Banyak dialihfungsikan lahan di hulu saat ini akibat eforia destinasi wisata Danau toba. Apakah untuk pemukiman, untuk lokasi resort dan lain-lain secara ilegal tentu pohon yang ada di kawasan tersebut ditebang atau sebagainya. Dua hal inilah yang mengakibatkan terjadinya banjir wilayah Sibaganding kemarin sore.

Pemerintah semestinya kembali melihat rencana tata ruang wilayah. Karena fungsi hutan di hulu sungai tidak bisa dijadikan sebagai hutan tanaman industri atau fungsi lain, harus menjadi kawasan lindung, juga pihak Litbang Kehutanan Aek Nauli, jika melakukan perlakukan untuk fungsi Litbang seharusnya juga memperhatikan kondisi keberlanjutannya.

Kawasan hutan di hulu sungai sudah mutlak harus dijaga. Pemerintah juga harus melihat, apakah alih fungsi kawasan hutan akan memengaruhi daya dukung sungai atau tidak. Banjir akibat luapan sungai itu bukan karena kerusakan hutan, tetapi intensitas air hujan yang tinggi sehingga hutan tidak mampu menyerap air hingga akhirnya terjadi banjir.

Secara spatial wilayah hulu yang tidak dapat lagi menahan air akibat kondisi kerusakan hutan yang disinyalir menjadi salah satu penyebab bencana alam di Sibaganding sudah beberapa kali dibahas, dan disampaikan ke masyarakat. Kejadian ini banjir maka kita perlu lakukan rekonstruksi hutan, minimalisasi agar tak terjadi banjir lagi.

Selain banjir, wilayah ini berpotensi bencana tanah longsor yang merusak rumah penduduk dan menggangu akses jalan warga di daerah perbukitan serta kondisi tebing di sekitar ruas jalan yang menimbulkan beban oleh maraknya bangunan untuk warung dan penginapan di sepanjang daerah badan jalan dan merupakan pinggiran badan jalan yang dibawahnya tebing mengarah ke danau.

"Untuk itu pemerintah harus dengan segera melakukan solusi agar hal ini tidak berlanjut mengingat saat ini Danau Toba merupakan Destinasi Wisata Skala Prioritas Nasional perlu ketegasan dari semua pihak. Sudahlah, marilah kita secara bersama untuk mempertahankan potensi ini, jangan lagi bersifat partial, kita pertahankan lingkungan hulu yang dapat meyelamatkan wilayah tengah dan hilir, karena ini untuk kita semua," terangnya.